Bintang
dengan E adalah fluks pancaran, L adalah luminositas dan d adalah jarak bintang ke pengamat.
Bintang merupakan benda langit yang memancarkan cahaya.
Terdapat bintang semu dan bintang nyata. Bintang semu adalah bintang yang tidak
menghasilkan cahaya sendiri, tetapi memantulkan cahaya yang diterima dari
bintang lain. Bintang nyata adalah bintang yang menghasilkan cahaya sendiri.
Secara umum sebutan bintang adalah objek luar angkasa yang menghasilkan cahaya
sendiri (bintang nyata).
Menurut ilmu astronomi, definisi bintang adalah: “Semua benda masif (bermassa antara 0,08
hingga 200 massa matahari) yang sedang dan pernah melangsungkan pembangkitan
energi melalui reaksi fusi nuklir."
Oleh sebab itu bintang katai putih dan bintang neutron yang
sudah tidak memancarkan cahaya atau energi tetap disebut sebagai bintang.
Bintang terdekat dengan Bumi adalah Matahari pada jarak sekitar 149,680,000
kilometer, diikuti oleh Proxima Centauri dalam rasi bintang Centaurus berjarak
sekitar empat tahun cahaya.
Sejarah Pengamatan
Bintang-bintang telah menjadi
bagian dari setiap kebudayaan. Bintang-bintang digunakan dalam praktek-praktek
keagamaan, dalam navigasi, dan bercocok tanam. Kalender Gregorian, yang
digunakan hampir di semua bagian dunia, adalah kalender matahari, mendasarkan
diri pada posisi Bumi relatif terhadap bintang terdekat, Matahari.
Astronom-astronom awal seperti
Tycho Brahe berhasil mengenali ‘bintang-bintang baru’ di langit (kemudian
dinamakan novae) menunjukkan bahwa langit tidaklah kekal. Pada 1584 Giordano
Bruno mengusulkan bahwa bintang-bintang sebenarnya adalah matahari-matahari
lain, dan mungkin saja memiliki planet-planet seperti Bumi di dalam
orbitnya, ide yang telah diusulkan sebelumnya oleh filsuf-filsuf Yunani kuno
seperti Democritus dan Epicurus. Pada abad berikutnya, ide bahwa bintang
adalah matahari yang jauh mencapai konsensus di antara para astronom. Untuk
menjelaskan mengapa bintang-bintang ini tidak memberikan tarikan gravitasi pada
tata surya, Isaac Newton mengusulkan bahwa bintang-bintang terdistribusi secara
merata di seluruh langit, sebuah ide yang berasal dari teolog Richard
Bentley.
Astronom Italia Geminiano Montanari
merekam adanya perubahan luminositas pada bintang Algol pada 1667. Edmond
Halley menerbitkan pengukuran pertama gerak diri dari sepasang bintang “tetap”
dekat, memperlihatkan bahwa mereka berubah posisi dari sejak pengukuran yang
dilakukan Ptolemaeus dan Hipparchus. Pengukuran langsung jarak bintang 61 Cygni
dilakukan pada 1838 oleh Friedrich Bessel menggunakan teknik paralaks.
William Herschel adalah astronom
pertama yang mencoba menentukan distribusi bintang di langit. Selama 1780an ia
melakukan pencacahan di sekitar 600 daerah langit berbeda. Ia kemudian
menyimpulkan bahwa jumlah bintang bertambah secara tetap ke suatu arah
langit, yakni pusat galaksi Bima Sakti. Putranya John Herschel mengulangi
pekerjaan yang sama di hemisfer langit sebelah selatan dan menemukan hasil yang
sama. Selain itu William Herschel juga menemukan bahwa beberapa pasangan
bintang bukanlah bintang-bintang yang secara kebetulan berada dalam satu arah
garis pandang, melainkan mereka memang secara fisik berpasangan membentuk
sistem bintang ganda.
Radiasi
Tenaga yang dihasilkan bintang,
sebagai hasil samping dari reaksi fusi nuklear, dipancarkan ke luar angkasa
sebagai radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi partikel yang
dipancarkan bintang dimanifestasikan sebagai angin bintang (yang berwujud
sebagai pancaran tetap partikel-partikel bermuatan listrik seperti proton
bebas, partikel alpha dan partikel beta yang berasal dari bagian terluar
bintang) dan pancaran tetap neutrino yang berasal dari inti bintang.
Hampir semua informasi yang kita
miliki mengenai bintang yang lebih jauh dari Matahari diturunkan dari
pengamatan radiasi elektromagnetiknya, yang terentang dari panjang gelombang
radio hingga sinar gamma. Namun tidak semua rentang panjang gelombang tersebut
dapat diterima oleh teleskop landas Bumi. Hanya gelombang radio dan gelombang
cahaya yang dapat diteruskan oleh atmosfer Bumi dan menciptakan ‘jendela radio’
dan ‘jendela optik’. Teleskop-teleskop luar angkasa telah diluncurkan untuk
mengamati bintang-bintang pada panjang gelombang lain.
Banyaknya radiasi elektromagnetik
yang dipancarkan oleh bintang dipengaruhi terutama oleh luas permukaan, suhu
dan komposisi kimia dari bagian luar (fotosfer) bintang tersebut. Pada akhirnya
kita dapat menduga kondisi di bagian dalam bintang, karena apa yang terjadi di
permukaan pastilah sangat dipengaruhi oleh bagian yang lebih dalam.
Dengan menelaah spektrum bintang,
astronom dapat menentukan temperatur permukaan, gravitasi permukaan,
metalisitas, dan kecepatan rotasi dari sebuah bintang. Jika jarak bisa
ditentukan, misal dengan metode paralaks, maka luminositas bintang dapat
diturunkan. Massa, radius, gravitasi permukaan, dan periode rotasi kemudian
dapat diperkirakan dari pemodelan. Massa bintang dapat juga diukur secara
langsung untuk bintang-bintang yang berada dalam sistem bintang ganda atau
melalui metode mikrolensing. Pada akhirnya astronom dapat memperkirakan umur
sebuah bintang dari parameter-parameter di atas.
Fluks pancaran
Kuantitas yang pertama kali langsung dapat ditentukan dari pengamatan
sebuah bintang adalah fluks pancarannya, yaitu jumlah cahaya atau tenaga yang
diterima permukaan kolektor (mata atau teleskop) per satuan luas per satuan
waktu. Biasanya dinyatakan dalam satuan watt per cm2 (satuan
internasional) atau erg per detik per cm2 (satuan cgs).
Luminositas
Di dalam astronomi, luminositas
adalah jumlah cahaya atau energi yang dipancarkan oleh sebuah bintang ke segala
arah per satuan waktu. Biasanya satuan luminositas dinyatakan dalam watt
(satuan internasional), erg per detik (satuan cgs) atau luminositas matahari.
Dengan menganggap bahwa bintang adalah sebuah benda hitam sempurna, maka
luminositasnya adalah :
dimana L adalah luminositas, σ adalah tetapan
Stefan-Boltzmann, R adalah jari-jari bintang dan Te adalah temperatur efektif
bintang.
Jika jarak bintang dapat diketahui, misalnya dengan
menggunakan metode paralaks, luminositas sebuah bintang dapat ditentukan
melalui hubungan :
dengan E adalah fluks pancaran, L adalah luminositas dan d adalah jarak bintang ke pengamat.
Magnitudo
Secara tradisi kecerahan bintang
dinyatakan dalam satuan magnitudo. Kecerahan bintang yang kita amati, baik
menggunakan mata bugil maupun teleskop, dinyatakan oleh magnitudo tampak (m)
atau magnitudo semu. Secara tradisi magnitudo semu bintang yang dapat dilihat
oleh mata bugil dibagi dari 1 hingga 6, di mana satu ialah bintang paling
cerah, dan 6 sebagai bintang paling redup. Terdapat juga kecerahan yang diukur
secara mutlak, yang menyatakan kecerahan bintang sebenarnya. Kecerahan ini
dikenal sebagai magnitudo mutlak (M), dan terentang antara +26.0 sampai -26.5.
Magnitudo adalah besaran lain dalam menyatakan fluks pancaran, yang terhubungkan
melalui persamaan,
dimana m adalah magnitudo semu dan E adalah fluks pancaran.
Satuan pengukuran
Kebanyakan parameter-parameter
bintang dinyatakan dalam satuan SI, tetapi satuan cgs kadang-kadang digunakan
(misalnya luminositas dinyatakan dalam satuan erg per detik). Penggunaan satuan
cgs lebih bersifat tradisi daripada sebuah konvensi. Seringkali pula massa,
luminositas dan jari-jari bintang dinyatakan dalam satuan matahari, mengingat
Matahari adalah bintang yang paling banyak dipelajari dan diketahui
parameter-parameter fisisnya. Untuk Matahari, parameter-parameter berikut
diketahui :
kg
watt
m
Skala panjang seperti setengah sumbu besar dari sebuah orbit sistem bintang ganda seringkali dinyatakan dalam satuan astronomi (AU = astronomical unit), yaitu jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari.
watt
m
Skala panjang seperti setengah sumbu besar dari sebuah orbit sistem bintang ganda seringkali dinyatakan dalam satuan astronomi (AU = astronomical unit), yaitu jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari.
Klasifikasi
Berdasarkan spektrumnya, bintang dibagi ke dalam 7 kelas utama yang
dinyatakan dengan huruf O, B, A, F, G, K, M yang juga menunjukkan urutan suhu,
warna dan komposisi-kimianya. Klasifikasi ini dikembangkan oleh
Observatorium Universitas Harvard dan Annie Jump Cannon pada tahun 1920an dan
dikenal sebagai sistem klasifikasi Harvard. Untuk mengingat urutan penggolongan
ini biasanya digunakan kalimat "Oh Be A Fine Girl Kiss Me". Dengan
kualitas spektrogram yang lebih baik memungkinkan penggolongan ke dalam 10
sub-kelas yang diindikasikan oleh sebuah bilangan (0 hingga 9) yang mengikuti
huruf. Sudah menjadi kebiasaan untuk menyebut bintang-bintang di awal urutan
sebagai bintang tipe awal dan yang di akhir urutan sebagai bintang tipe akhir.
Jadi, bintang A0 bertipe lebih awal daripada F5, dan K0 lebih awal daripada
K5.
Kelas Warna Suhu Permukaan °C Contoh
O Biru > 25,000 Bintang 10 Lacerta
O Biru > 25,000 Bintang 10 Lacerta
B Putih-Biru 11.000 - 25.000 Rigel - Spica
A Putih 7.500 - 11.000 Sirius
F Putih-Kuning 6.000 - 7.500 Procyon
G Kuning 5.000 - 6.000 Matahari
K Jingga 3.500 - 5.000 Arcturus - Aldebaran
M Merah < 3,500 Betelgeuse
Pada tahun 1943, William Wilson Morgan, Phillip C. Keenan,
dan Edith Kellman dari Observatorium Yerkes menambahkan sistem
pengklasifikasian berdasarkan kuat cahaya atau luminositas, yang seringkali
merujuk pada ukurannya. Pengklasifikasian tersebut dikenal sebagai sistem
klasifikasi Yerkes dan membagi bintang ke dalam kelas-kelas berikut :
0 Maha maha raksasa (Extra Super Giant)
I Maharaksasa (Super Giant)
II Raksasa-raksasa terang (Bright Giants)
III Raksasa (Giant)
IV Sub-raksasa (Sub-Giant)
V Deret utama - katai (Main Sequence - dwarf)
VI Sub-katai (Sub-dwarf)
VII Katai putih (White Dwarfs)
Umumnya kelas bintang dinyatakan dengan dua sistem
pengklasifikasian di atas. Matahari kita misalnya, adalah sebuah bintang
dengan kelas G2V, berwarna kuning, bersuhu dan berukuran sedang.
Diagram Hertzsprung-Russell adalah diagram hubungan antara
luminositas dan kelas spektrum (suhu permukaan) bintang. Diagram ini adalah
diagram paling penting bagi para astronom dalam usaha mempelajari evolusi
bintang.
Penampakan dan Distribusi
Karena jaraknya yang sangat jauh, semua bintang (kecuali Matahari) hanya
tampak sebagai titik saja yang berkelap-kelip karena efek turbulensi atmosfer
Bumi. Diameter sudut bintang bernilai sangat kecil ketika diamati
menggunakan teleskop optik landas Bumi, hingga diperlukan teleskop
interferometer untuk dapat memperoleh citranya. Bintang dengan ukuran diameter
sudut terbesar setelah Matahari adalah R Doradus, dengan 0,057 detik busur.
Sebuah katai putih yang sedang mengorbit Sirius (konsep
artis). citra NASA.
Telah lama dikira bahwa kebanyakan bintang berada pada
sistem bintang ganda atau sistem multi bintang. Kenyataan ini hanya benar untuk
bintang-bintang masif kelas O dan B, dimana 80% populasinya dipercaya berada
dalam suatu sistem bintang ganda atau pun multi bintang. Semakin redup bintang,
semakin besar kemungkinannya dijumpai sebagai sistem tunggal. Dijumpai hanya
25% populasi katai merah yang berada dalam sebuah sistem bintang ganda atau
sistem multi bintang. Karena 85% populasi bintang di galaksi Bimasakti
adalah katai merah, maka tampaknya kebanyakan bintang di dalam Bimasakti
berada pada sistem bintang tunggal.
Sistem yang lebih besar yang disebut gugus bintang juga dijumpai.
Bintang-bintang tidak tersebar secara merata mengisi seluruh ruang alam
semesta, tetapi terkelompokkan ke dalam galaksi-galaksi bersama-sama dengan gas
antarbintang dan debu. Sebuah galasi tipikal mengandung ratusan miliar bintang,
dan terdapat lebih dari 100 miliar galaksi di seluruh alam semesta teramati.
Astronom memperkirakan terdapat 70 sekstiliun (7×1022)
bintang di seluruh alam semesta yang teramati. Ini berarti 70 000 000 000
000 000 000 000 bintang, atau 230 miliar kali banyaknya bintang di galaksi
Bimasakti yang berjumlah sekitar 300 miliar.
Bintang terdekat dengan Matahari adalah Proxima Centauri,
berjarak 39.9 triliun (1012) kilometer, atau 4.2 tahun cahaya. Cahaya dari
Proxima Centauri memakan waktu 4.2 tahun untuk mencapai Bumi. Jarak ini adalah
jarak antar bintang tipikal di dalam sebuah piringan galaksi. Bintang-bintang
dapat berada pada jarak yang lebih dekat satu sama lain di daerah sekitar pusat
galasi dan di dalam gugus bola, atau pada jarak yang lebih jauh di halo
galaksi.
Karena kerapatan yang rendah di dalam sebuah galaksi,
tumbukan antar bintang jarang terjadi. Namun di daerah yang sangat padat
seperti di inti sebuah gugus bintang atau lingkungan sekitar pusat galaksi,
tumbukan dapat sering terjadi . Tumbukan seperti ini dapat menghasilkan
pengembara-pengembara biru yaitu sebuah bintang abnormal hasil penggabungan
yang memiliki temperatur permukaan yang lebih tinggi dibandingkan bintang deret
utama lainnya di sebuah gugus bintang dengan luminositas yang sama. Istilah pengembara
merujuk pada jejak evolusi yang berbeda dengan bintang normal lainnya pada
diagram Hertzsprung-Russel.
Evolusi
Struktur, evolusi, dan nasib akhir sebuah bintang sangat
dipengaruhi oleh massanya. Selain itu, komposisi kimia juga ikut mengambil
peran dalam skala yang lebih kecil.
Terbentuknya bintang
Bintang terbentuk di dalam awan molekul; yaitu sebuah daerah
medium antarbintang yang luas dengan kerapatan yang tinggi (meskipun masih
kurang rapat jika dibandingkan dengan sebuah vacuum chamber yang ada di Bumi).
Awan ini kebanyakan terdiri dari hidrogen dengan sekitar 23–28% helium dan
beberapa persen elemen berat. Komposisi elemen dalam awan ini tidak banyak
berubah sejak peristiwa nukleosintesis Big Bang pada saat awal alam semesta.
Gravitasi mengambil peranan sangat penting dalam proses
pembentukan bintang. Pembentukan bintang dimulai dengan ketidakstabilan
gravitasi di dalam awan molekul yang dapat memiliki massa ribuan kali matahari.
Ketidakstabilan ini seringkali dipicu oleh gelombang kejut dari supernova atau
tumbukan antara dua galaksi. Sekali sebuah wilayah mencapai kerapatan materi
yang cukup memenuhi syarat terjadinya instabilitas Jeans, awan tersebut mulai
runtuh di bawah gaya gravitasinya sendiri.
Berdasarkan syarat instabilitas Jeans, bintang tidak
terbentuk sendiri-sendiri, melainkan dalam kelompok yang berasal dari suatu
keruntuhan di suatu awan molekul yang besar, kemudian terpecah menjadi
konglomerasi individual. Hal ini didukung oleh pengamatan dimana banyak bintang
berusia sama tergabung dalam gugus atau asosiasi bintang.
Begitu awan runtuh, akan terjadi konglomerasi individual
dari debu dan gas yang padat yang disebut sebagai globula Bok. Globula Bok ini
dapat memiliki massa hingga 50 kali Matahari. Runtuhnya globula membuat
bertambahnya kerapatan. Pada proses ini energi gravitasi diubah menjadi energi
panas sehingga temperatur meningkat. Ketika awan protobintang ini mencapai
kesetimbangan hidrostatik, sebuah protobintang akan terbentuk di intinya.
Bintang pra deret utama ini seringkali dikelilingi oleh piringan protoplanet.
Pengerutan atau keruntuhan awan molekul ini memakan waktu hingga puluhan juta
tahun. Ketika peningkatan temperatur di inti protobintang mencapai kisaran 10
juta kelvin, hidrogen di inti 'terbakar' menjadi helium dalam suatu reaksi
termonuklir. Reaksi nuklir di dalam inti bintang menyuplai cukup energi untuk
mempertahankan tekanan di pusat sehingga proses pengerutan berhenti.
Protobintang kini memulai kehidupan baru sebagai bintang deret utama.
Deret Utama
Bintang menghabiskan sekitar 90% umurnya untuk membakar
hidrogen dalam reaksi fusi yang menghasilkan helium dengan temperatur dan
tekanan yang sangat tinggi di intinya. Pada fase ini bintang dikatakan berada
dalam deret utama dan disebut sebagai bintang katai.
Akhir sebuah bintang
Ketika kandungan hidrogen di teras bintang habis, teras
bintang mengecil dan membebaskan banyak panas dan memanaskan lapisan luar
bintang. Lapisan luar bintang yang masih banyak hidrogen mengembang dan
bertukar warna merah dan disebut bintang raksaksa merah yang dapat mencapai 100
kali ukuran matahari sebelum membentuk bintang kerdil putih. Sekiranya bintang
tersebut berukuran lebih besar dari matahari, bintang tersebut akan membentuk
superraksaksa merah. Superraksaksa merah ini kemudiannya membentuk Nova atau
Supernova dan kemudiannya membentuk bintang neutron atau Lubang hitam.
Sumber : Wikipedia/Bintang
Sumber : Wikipedia/Bintang